Accéder au contenu principal

Refleksiku tentang surat wasiat

1506/500

Surat Wasiat  yang tetap hidup dan masih berbicara

Saya didorong untuk memahami lebih mendalam tentang substansi dan makna Surat Wasiat setelah saya mengikrarkan Profesi Pertama saya pada tahun 1988, terutama setelah saya sering membaca buku Konstitusi Xaverian. Kemudian, "cinta pertama" dan penghayatan saya terhadap Surat Wasiat telah berkembang dari hari ke hari dan semakin paham apa poin utama di setiap nomer, dari 1 sampai 11. Meskipun saya tidak hafal secara harafiah seluruh nomer-nomer yang ada dalam Surat Wasiat. Tetapi saya berusaha sebaik mungkin untuk mewujudnyatakannya dalam setiap tahap dan proses formasi saya, sesuai dengan nilai-nilai yang tertulis dalam Surat Wasiat Pendiri tersebut.

Setiap nomor dalam Surat Wasiat yang saya dengar langsung dari para formator atau pembimbing selama formasi saya, dan juga membacanya sebagai refleksi pribadi saya, seolah-olah surat itu tetap hidup dan masih berbicara langsung ke alam jiwa saya.

Antonius Wahyudianto 02

Saat merenungkan hidup kerasulan dan hidup bakti, misalnya ketika saya menulis Surat Permohonan Kaul Sementara untuk pertama kalinya dalam hidup saya, pikiran dan jiwa saya benar-benar tertuju pada Surat Wasiat nomer 2, seperti yang ditunjukkan di bawah ini;

"Menurut Injil, Hidup Kerasulan serta pengikraran kaul-kaul Hidup Bakti bersama-sama merupakan kehidupan paling sempurna yang bisa dibayangkan. Dengan mengikrarkan kaul-kaul itu kita mati bagi semua hal duniawi supaya menghayati hidup tersembunyi dalam Allah bersama Kristus Yesus, demikian terwujud apa yang ditulis oleh Paulus:“Kamu sudah mati, dan kehidupanmu kini tersembunyi bersama Kristus dalam Allah.”(Kol 3:3) 

Jadi, sejak saya membuat Surat Permohonan untuk Kaul Sementara (Profesi Pertama) saya (1988), atau untuk Pembaharuan Kaul religius saya setiap tahun, atau terutama sampai Kaul Kekal saya (1995), Surat Wasiat itu selalu hidup dan berbicara banyak kepada saya. Saya tidak dapat menulis Surat Permohonan untuk pembaharuan kaul saya dengan baik, tanpa dialog pribadi dan konsultasi dengan Surat Wasiat. Akhirnya, saya menyadari bahwa Sang Pendiri, melalui Surat Wasiatnya, telah berbicara tentang banyak hal kepada saya, sepanjang tahap formasi saya sampai akhirnya menerima rahmat pentahbisan imamat pada 6 Juli 1996.

Sampai sekarang, setiap kali saya membaca Surat Wasiat, saya merasakan kehadiran Pendiri didampingi oleh Santo Paulus dan Kristus sendiri di depan saya; berbicara dengan saya secara pribadi. Sebab, dalam Surat Wasiat itu Sang Pendiri mengutip/mengambil begitu banyak kata-kata dari Yesus dan Santo Paulus sendiri. Bahkan, Surat Wasiat misalnya nomor 3 sering berbisik di telinga saya dengan kata-katanya yang hidup dan menghibur, ketika saya menghadapi beberapa tantangan dalam kehidupan panggilan saya. Dalam situasi ini saya didorong untuk setia dan selalu setia melihat wajah Tuhan, sambil berdoa;

"Dalam kegelisahan kita berpaling kepada Tuhan lewat doa dan membarui tekad-tekad kita dalam melipatgandakan kesetiaan kita kepada tugas kita. Rasul Paulus meyakinkan kita, “Baiklah tiap-tiap orang tinggal dalam keadaan, seperti waktu ia dipanggil Allah”.  (I Kor 7:20)

Oleh karena itu, di saat krisis atau dalam "situasi padang gurun" kehidupan religius saya, Surat Wasiat berbicara lebih keras kepada saya agar tetap di jalur yang benar bersama Kristus. Surat Wasiat selalu mengingatkan saya tentang mengosongkan diri, agar saya bisa diisi dengan kasih karunia Tuhan.

Nomer-nomer favorit dari Surat Wasiat: # 4. Kemiskinan; # 6. Ketaatan; dan # 10. Jalan menuju kekudusan

# Kemiskinan (SW no.4 ) ; 

"Hendaklah kita mencintai kemiskinan, penyangkalan pertama yang dituntut oleh Kristus dari mereka yang mau menjadi sem-purna dan memutuskan untuk mengikuti Dia secara dekat. Dia menginginkan meraja dalam hati mereka, hanya diri-Nya semata, karenanya menuntut supaya   mereka melepaskan diri secara afektif dan nyata dari segala hal duniawi.Oleh karena ini sering. Dia mengatakan: "Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku. (Lk 14:33)

Bagi saya sangat jelas bahwa menjadi seorang imam misionaris, adalah menjadi miskin seperti Kristus dan mempraktekkan hidup sederhana seperti halnya para murid-Nya. Itu sebabnya, sejak saya mengikrarkan Profesi Pertama saya dan menerima buku Konstitusi Xaverian di tangan saya, saya pribadi begitu bahagia karena sudah merefleksikan hal itu .

Pendiri menunjukkan kepada saya dalam Surat Wasiat nomor 4 bahwa saya dapat mengikuti Kristus di jalan-Nya jika saya menjalankan kaul-kaul religius saya dalam "cara kenosis" dan juga dalam "mentalitas inkarnasi". Bagi saya, Surat Wasiat nomor 4 telah menjadi petunjuk yang benar menuju pintu sempit dalam menyerupai Kristus dengan sempurna. Dan itu mengajarkan saya bagaimana menerapkan nilai-nilai kerendahan hati, yang pada saat ini menjadi lebih sulit untuk dipraktekkan. Ketika saya pertama kali diutus untuk mengikuti Tahun Orientasi Misionaris (TOM) saya di Siberut-Mentawai (1992-93), saya belajar dari orang Mentawai bagaimana hidup sederhana dan rendah hati. Surat Wasiat nomor 4, dalam hal ini, telah membimbing saya untuk menghayati Kaul Kemiskinan saya sejalan dengan perjuangan orang-orang sederhana di daerah terpencil ini. Selain itu, ketika saya kembali lagi melakukan karya pastoral saya di Siberut sebagai diakon (1996), atau melakukan tugas misioner di Bangladesh (1997-2008) dan akhirnya kembali ke Siberut sebagai Pastor Paroki (2009-2012), saya mendengar lagi sayup-sayup suara Pendiri dalam Surat Wasiat-nya nomer 4 itu;

"Di mana saja kita berada, entah di misi atau di rumah-rumah kita, hendaknya kita merasa puas dengan makanan dan pakaian yang disediakan dan janganlah menuntut lebih daripada itu, jangan pula memiliki sesuatu sebagai milik kita sendiri.  Inilah kemiskinan yang dengan rela hati sudah kita ikrarkan, inilah kemiskinan yang membebaskan kita dari kelekatan duniawi, dan inilah pula kemiskinan yang menjamin kita memperoleh Kerajaan Surga, yang dijanjikan terutama bagi mereka yang miskin dalam Roh".

Merefleksikan Surat Wasiat menurut saya, adalah mempraktekkan apa yang telah kita yakini dalam kata-kata Pendiri yang sesuai dengan kehendak Tuhan demi menjalankan Kaul Kemiskinan secara radikal dalam kehidupan sehari-hari. Warisan Surat Wasiat Pendiri tidak hanya tinggal di atas kertas usang, atau dalam gagasan kita sendiri, atau pada tingkat diskusi komunitarian, tetapi dalam realisasi dan praksis Kaul Kemiskinan sehari-hari di sini dan saat ini. Bagi saya, inilah poin yang sangat kuat dari Surat Wasiat untuk direnungkan dalam kaitannya dengan Kaul Kemiskinan!

# Ketaatan (SW no. 6); 

"Santo Thomas Aquinas mengajarkan kita bahwa dalam ketaatan tersimpul semua kebajikan yang lain. Dan Santo Bonaventura tidak segan-segan menegaskan bahwa segenap  kesempurnaan Hidup Bakti terdiri dari menundukkan kehendak seseorang dalam menjalankan ketaatan".

Ketika saya terpilih sebagai Provinsial (Mei 2012), pikiran dan hati saya terfokus pada Surat Wasiat, terutama no. 6. Saya masih merenungkan bahwa Kaul Ketaatan yang diajarkan Sang Pendiri selalu membantu saya bagaimana mempersembahkan diri saya sepenuhnya kepada Tuhan sesuai dengan kehendak-Nya. Bagi saya, menjadi seorang Provinsial adalah tugas yang sangat sulit. Karena saya perlu berkomunikasi atau berbicara secara pribadi dengan semua konfrater saya, juga tentang Kaul Ketaatan sesering mungkin. Praktisnya, beberapa konfrater masih mengalami kesulitan untuk melihat kehendak Tuhan dalam hal ini. Apalagi jika kita berurusan dengan rotasi atau tugas baru untuk "konfrater yang sulit", yang kadangkala menolak menerima rotasi baru. Saya pribadi sebagai Provinsial terkadang merasa resah dan gelisah, sedih, kecewa, bahkan merasa gagal. Kadang-kadang secara manusiawi saya sangat kesal ketika, misalnya, seorang konfrater mengeluh secara tertulis bahkan secara lisan mengungkapkan "kata-kata mengancam". Oleh karena tempat tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya, ditolak, sebab tidak dia sukai.

"Maka sesudah mengikrarkan ketaatan kepada Allah, patutlah kita memandang diri kita sebagai alat di tangan para Superior demi kemuliaan ilahi dan keselamatan saudara-saudara. Hendaklah kita bersikap lepas-bebas akan setiap tugas dan jabatan, pergi ke misi ini atau itu, akan pelayanan di dalam rumah-rumah Serikat kita atau di tanah misi. Hendaklah kita selalu siap sedia melakukan hal-hal yang gampang maupun yang sulit, hal-hal yang memang kita sukai maupun yang kurang kita sukai".

Dalam hal ini, saya kerapkali bertanya-tanya, "Apakah konfrater saya yang terkasih harus membaca ulang setiap hari dan semakin banyak merefleksikan Surat Wasiat no. 6, demi memilih jalan sempit Kaul Ketaatan?" Sehingga dia bisa melihat kehendak Tuhan dalam setiap tugas atau tanggung jawab yang dia terima dan mempraktekkannya dengan siap sedia. Begitu pula pemahaman akan Injil; jika kita mengenal dan mencintai Surat Wasiat Pendiri, maka kita mengenal dan mencintai Injil Tuhan dengan baik, sebagaimana halnya dengan Sang Pendiri mentaati Injil.

Seringkali saya menggarisbawahi Surat Wasiat no.6 selama homili/renungan dalam upacara perayaan misa untuk Profesi Pertama para Xaverian muda atau Pembaharuan Kaul mereka setiap tahun. Karena, berdasarkan pengalaman saya, Kaul Ketaatan merupakan kaul religius yang paling sulit dilaksanakan di antara kaul-kaul lainnya. Oleh karena itu, bagi para Xaverian muda dalam tahap awal formasi, mereka perlu menghayati dengan baik dan mencintai Surat Wasiat no.6 tanpa syarat!

# Jalan menuju kekudusan (SW no. 10); 

"Semua hal ini aku mau anjurkan kepada kalian pada saat aku menyampaikan Buku Konstitusi kita kepada kalian, saudara-saudaraku yang terkasih, dan yang sangat kudambakan, oleh sebab keinginan yang amat dalam yang kurasakan akan pengudusan anda serta kebaikan Serikat kita."

Dalam refleksi saya, Surat Wasiat no. 10 adalah nomor terbaik dari Surat Wasiat Bapa Pendiri. Karena dalam nomor ini, Santo Guido merangkum dengan sangat jelas inti dari Spiritualitas Xaverian tentang "In Omnibus Christus", ketaatan yang siap-sedia dan semangat kekeluargaan. Saya akui dan saya sangat yakin bahwa jika setiap Xaverian mempraktekkan Surat Wasiat no. 10 setiap hari, dia bisa menjadi orang kudus di masa depan, seperti Sang Pendiri sendiri!

Sekali lagi saya tandaskan, bila semua Xaverian dapat memfokuskan diri pada Surat Wasiat no. 10 dengan setia, komunitas kita akan menjadi semakin suci hari demi hari. Karena, dengan mempraktekkan Surat Wasiat nomer 10, yang merupakan intisari dari spiritualitas Xaverian, kita dapat menjalani peziarahan rohani komunitas kita menuju kekudusan sebagai Misionaris Xaverian dengan lancar.

Fr. Antonius Wahyudianto sx


La Lettera Testamento è viva e mi parla ancora oggi

L’evento che mi ha spinto a conoscere più in profondità l’essenza e il significato della Lettera Testamento (LT) è stato il periodo dopo la mia prima Professione religiosa avvenuta nel 1988, che ha seguito la lettura delle Costituzioni Saveriane. Da quel momento in poi, il primo amore e l’approfondimento della LT sono cresciuti in me giorno dopo giorno, raggiungendo una migliore comprensione degli aspetti principali di ogni numero, dal primo all’ultimo.

Sebbene non l’abbia imparata a memoria, tuttavia ho cercato di fare del mio meglio per viverla in ogni tappa della mia formazione secondo i valori presentati nella Lettera stessa del Fondatore. Ogni numero della LT veniva presentato e ascoltato dal Maestro dei Novizi o dai formatori durante la mia formazione, oppure letto durante il mio studio personale: una Lettera che vive e che continua a parlare direttamente alla mia anima.

Mi ricordo, per esempio, quando scrissi la lettera di domanda per la mia prima professione. Dovendo riflettere sulla vita apostolica e sulla vita consacrata, il mio pensiero e la mia anima erano realmente concentrate sul n. 2 della LT: 

Per la professione dei voti religiosi noi veniamo a morire a tutto ciò che è terrestre per vivere una vita nascosta in Dio con Gesù Cristo, avverandosi quello che scriveva l’Apostolo Paolo ai primitivi fedeli: «Mortui estis et vita vestra est abscondita cum Christo in Deo» (Col. 3, 3).

Per questa ragione, sin dalla mia prima professione (1988) o ad ogni rinnovo dei miei voti temporanei, e in particolar modo nel momento di fare la professione perpetua (1995), la LT è sempre stata qualcosa di vivo, in grado di comunicarmi molte cose. Non potevo, infatti, scrivere la lettera di domanda per il rinnovo dei miei voti senza prima aver consultato, o aver avuto un dialogo personale, con la LT. Mi rendo conto che il Fondatore, con la sua Lettera, mi ha detto molte cose durante tutto il periodo della mia formazione fino al momento di ricevere la grazia dell’ordinazione sacerdotale nel 1996.

Oggi, ogniqualvolta la leggo, sento la presenza del Fondatore che mi accompagna, insieme al Signore stesso e a san Paolo. Essi mi parlano personalmente. La LT del Fondatore, infatti, riprende molte parole di Gesù e delle Lettere di san Paolo. Per esempio, quando mi trovai ad affrontare alcuni momenti difficili nella mia vita vocazionale, il numero 3 spesso sussurrava al mio orecchio parole di consolazione e piene di vita. Mi sentivo incoraggiato, così, ad essere leale e fedele nel cercare di vedere il volto di Dio. Nella preghiera mi ripetevo:

Nel momento dello sconforto ricorriamo a Dio colla preghiera, rinnoviamo i nostri propositi e raddoppiamo la fedeltà nel compimento dei nostri doveri, richiamando alla nostra mente le parole dell’Apostolo, le quali dovrebbero allontanare da noi ogni incertezza: «Ognuno resti in quella vocazione, in cui fu chiamato» (1Cor 7, 20). (LT 3)

Per questo, nei momenti di crisi, o di “deserto” nella mia vita religiosa, la LT mi ha sempre parlato in modo forte così da poter continuare a percorrere la retta via con Cristo. Mi ricorda sempre la necessità di spogliare, svuotare, me stesso per poter essere ricolmo della grazia del Signore.

Come Saveriano, i numeri che preferisco della LT sono: il n. 4 sulla povertà, il n. 6 sull’obbedienza e il n.10 sul cammino verso la santità.

LT n. 4: Povertà

Amiamo la povertà, che è la prima rinuncia che Cristo esige da coloro che vogliono essere perfetti e si propongono di seguirlo da vicino. Egli vuol regnare da solo sui loro cuori, epperciò esige da essi il distacco affettivo ed effettivo da tutte le cose della terra. Per questo andava spesso ripetendo: «Chi non rinuncia a tutto ciò che possiede, non può essere mio discepolo» (Lc 14,33).

È molto chiaro per me che essere sacerdote missionario significa essere povero come Gesù e mettere in pratica uno stile di vita semplice come quello dei suoi discepoli. Per questa ragione, dopo la mia prima professione religiosa, e dopo aver ricevuto il libro delle Costituzioni Saveriane nelle mie mani, mi sono sentito contento per il fatto di aver già avuto l’occasione di riflettere su questo punto.

Qui il Fondatore mi indica come posso seguire il Signore nel suo cammino, a condizione che io viva il mio voto religioso nella “forma della kenosis” e cioè nello svuotamento di me stesso, con la “mentalità dell’incarnazione”.

Questo numero è diventato per me come il giusto sentiero verso quella porta stretta che ci porta a imitare Cristo perfettamente. Mi insegna come vivere il valore dell’umiltà, uno di quei valori che ai giorni nostri è diventato estremamente difficile mettere in pratica.

Quando fui inviato per la prima volta, per un anno di orientamento missionario a Siberut-Mentawai (1992–1993), imparai dai mentawaiani come vivere una vita semplice ed essere umile. Il n. 4 della LT, a questo riguardo, mi ha guidato nel vivere il mio voto di povertà in mezzo ai sacrifici di questo popolo semplice, nelle zone più remote dell’isola. Inoltre, durante il mio anno di diaconato a Siberut (1996), nell’apostolato missionario in Bangladesh (1997–2008) e di nuovo a Siberut come parroco (2009–2012), sentii nuovamente la voce del Fondatore, che con la sua LT mi diceva:

Ognuno di noi quindi, sia in Missione che nelle case dell’Istituto, si accontenti per sé del necessario al vitto ed al vestito che gli verrà somministrato e nulla esiga in più e nulla possegga in proprio. È questa la povertà della quale abbiamo fatta volontaria professione: la povertà che ci renderà veramente liberi da ogni attacco alla terra e sicuri di conseguire il Regno de’ cieli promesso di preferenza ai poveri di spirito. (LT 4)

Riflettere sul modo di vivere il voto di povertà in modo radicale, quotidianamente, significa mettere in pratica quanto espresso nella parola del Fondatore come volontà di Dio. L’eredità della LT non consiste nel rimuginare un vecchio documento, nell’imporre una nostra personale interpretazione dello scritto, e neppure nel discettare sulla democraticità o meno del testo, ma nel vivere e mettere in pratica il voto di povertà qui e ora. Per me questo è un punto molto forte sul quale dobbiamo riflettere.

LT n. 6: Obbedienza

Nella vera obbedienza, scrive il massimo Dottor della Chiesa, sta il complesso di tutte le virtù. E san Buonaventura non esita asserire che tutta la perfezione religiosa consiste nella soppressione della propria volontà, vale a dire nella pratica dell’obbedienza.

Quando fui eletto Superiore Regionale (maggio 2012), la mia mente e il mio cuore erano fissi sulla LT, e in modo particolare su questo numero. Continuo a riflettere sul voto di obbedienza insegnatomi dal Fondatore perché mi ha sempre aiutato ad offrire me stesso a Dio facendo così la Sua volontà. Per me, esercitare il servizio di Superiore Regionale, è un compito molto difficile. Dovendo frequentemente dialogare o parlare personalmente con i miei confratelli del voto di obbedienza, perché alcuni hanno difficoltà a riconoscere e vedere la volontà di Dio in tutto ciò, mi sento molto a disagio, triste e deluso quando si affronta il tema di nuove destinazioni o nuovi compiti, per un “confratello difficile” che rifiuta di accogliere il principio della rotazione. A volte mi sento infastidito quando, per esempio, un confratello si lamenta esprimendosi verbalmente con un “linguaggio minaccioso” sulla nuova destinazione, oppure su un nuovo compito o responsabilità affidatagli ma che egli non desidera assumere.

Dopo d’aver fatto voto a Dio di questa virtù, dobbiamo dunque considerarci come strumenti in mano dei nostri superiori per procurare la divina gloria e la salvezza dei fratelli. Dobbiamo essere pienamente indifferenti ad ogni ufficio ed occupazione; ad andare in questa od in quella missione, a rimanere presso le case dell’Istituto per prestarvi l’opera nostra, come a recarci a lavorare nel campo evangelico che ci venisse assegnato. Disposti egualmente a compiere sempre le cose agevoli come 1e ardue, quelle che ci vanno a genio, come quelle che ci ripugnano (LT 6).

Mi chiedo, in questo caso, se il mio amato confratello non debba rileggersi ogni giorno e riflettere più profondamente sulla LT n. 6, sul cammino stretto del voto di obbedienza e così vedere la volontà di Dio in ogni compito o responsabilità per poi metterlo in pratica. La stessa cosa ci capita quando cerchiamo di capire il Vangelo. Se conosciamo e amiamo la LT del Fondatore, allora conosciamo e amiamo bene il Vangelo del Signore, così come lo ha vissuto il Fondatore.

Spesso, nell’omelia-riflessione in occasione della celebrazione della messa per la prima Professione dei giovani Saveriani o per il rinnovo dei loro voti, mi piace sottolineare LT n. 6. Riflettendo sulla mia esperienza, considero l’obbedienza il voto più difficile da mettere in pratica. Per questa ragione le giovani generazioni dei Saveriani, sin dalle prime tappe della formazione, devono conoscere e amare la LT in modo incondizionato.

Il cammino alla santità: LT n. 10

E dovendo pur prendere da voi commiato, per mettete che, riepilogando il già detto, io esprima un voto; il voto che la caratteristica che dovrà distinguere i membri presenti e futuri della pia nostra Società sia sempre la risultante di questi coefficienti: spirito di viva fede che ci faccia veder Dio, cercar Dio, amar Dio in tutto acuendo in noi il desiderio di propagare ovunque il suo Regno; spirito di obbedienza pronta, generosa, costante in tutto e ad ogni costo per riportare le vittorie da Dio promesse all’uomo obbediente; spirito di amore intenso per la nostra Religiosa Famiglia, che dobbiamo considerare qual madre e carità a tutta prova pei membri che la compongono.

Nella mia riflessione personale, ritengo che questo sia il miglior numero di tutta la Lettera. In questo testo, il Fondatore riepiloga in modo molto chiaro il cuore della spiritualità Saveriana: il motto In Omnibus Christus, l’obbedienza pronta e lo spirito di Famiglia. Sono certo di poter affermare che se ogni Saveriano mettesse in pratica giornalmente il n. 10 della LT, potrebbe diventare nel futuro un santo, come lo è il nostro Fondatore. Vorrei ripeterlo ancora una volta: se tutti i saveriani si concentrassero sul n. 10 della LT in modo fedele, le nostre comunità diverrebbero ogni giorno più sante. Come Missionari Saveriani, se mettiamo in pratica il n.10 della Lettera Testamento che costituisce il cuore della nostra spiritualità, potremo percorrere insieme più facilmente il cammino verso la santità.

Antonius Wahyudiyanto sx


The Testament Letter is Alive and Talks to Me Today

The event prompting me to deepen my knowledge of the essence and meaning of the Testament Letter (TL) has been the period following my first religious profession in 1988 and the reading of the Xaverian Constitutions. Since that moment, my “first love” for the TL and the effort to understand it better have kept growing in me, day after day, leading me to a deeper appreciation of the main aspects contained in each number, from the first to the last. Although I did not memorise it, I have tried my best to live it out during each stage of my formation and in accordance with the values presented by the Founder’s Letter itself. I heard each number of the TL when it was presented by the Master of Novices or by the formators throughout my formation, and I read it during my own personal study: it is a Letter that lives and continues talking directly to my soul.

For instance, I remember when I wrote my letter to apply for the first profession. As I was reflecting on apostolic life and consecrated life, my thoughts and my soul were really concentrated on n. 2 of the TL:

Through the profession of the religious vows we die to all earthly things in order to live a life hidden in God with Jesus Christ, thus fulfilling what the Apostle Paul wrote to the early believers: «Mortui estis et vita vestra est abscondita cum Christo in Deo» (Col 3: 3).

For this very reason, since my first profession (1988), at each renewal of my temporary vows, and especially at the time of making my final profession (1995), the TL has always been something alive and capable to communicate many things to me. Truly, I could not write a letter asking to renew my vows without having first consulted or having personally dialogued with the TL. I now realise that, through his Letter, the Founder has told me many things during the period of my formation up to the moment of receiving the grace of priestly ordination in 1996.

Today, every time I read it, I feel the presence of the Founder that accompanies me, together with our Lord and St Paul. They all talk to me personally, for the Founder’s TL draws on many words of Jesus and from St Paul’s letters. For example, when in my vocational journey I happened to encounter difficult moments, number 3 would often whisper in my ear words of consolation and full of life. I would feel encouraged to remain loyal and faithful in the search for the face of God. In my prayer I would repeat:

In times of discouragement, let us turn to God in prayer, stand firm in our resolve and increase our fidelity to our commitments. We are assured by the Words of the Apostle: «Let everyone stay as he was at the time of his call» (1Co 7:20). (LT 3)

This is why, in moments of crisis or of “desert” in my religious life, the TL has always talked to me in such a strong fashion that I found energies to continue walking with Christ along the right path. The TL constantly reminds me of the need to strip and empty myself so as to become replete with God’s grace.

Being a Xaverian, the numbers of the TL that I prefer are: n. 4 on poverty, n. 6 on obedience and n. 10 on the path to holiness.

TL n. 4: Poverty

Let us love poverty, which is the first sacrifice Christ demands of those who aspire to perfection and would follow him more closely. He wishes to reign unchallenged in our hearts and, therefore, he demands that they detach themselves entirely from all worldly things. How often did he repeat: «He who does not renounce all his possessions cannot be my disciple» (Lc 14, 33).

It is very clear to me that being a missionary priest means to become poor like Jesus and practice a simple lifestyle like that of His disciples. For this reason, after my first religious profession and upon having received in my hands the book of the Xaverian Constitutions, I felt happy for having already had the chance to reflect on this number.

Here the Founder instructs me how to follow the Lord in His journey: the precondition is that I live my religious vow as a kenosis, that is, by emptying myself, with the “mentality of the Incarnation.”

This number has become for me just like the right path leading to the narrow door that makes us imitate Christ perfectly. It teaches how to live the value of humbleness – a value that nowadays has become extremely difficult to practice.

The first time I was sent to Siberut-Mentawai (1992-1993) for a year of introduction to mission, I learned from the Mentawai people how to live a simple life and be humble. In this respect, n. 4 of the TL has guided me in living the vow of poverty in the midst of the privations this simple people bear in the remotest areas of their island. Moreover, I felt again the Founder’s voice during my year as a deacon in Siberut (1996), during my missionary work in Bangladesh (1997-2008) and once more in Siberut as pastor of a parish (2009-2012). With his TL, he was telling me:

Whether in the missions, or other houses of the Institute, let each one of us be content with whatever food and clothing is provided, seek nothing more, and possess nothing as his own. This is the poverty we freely embraced in our religious profession: this poverty will free us from all attachment to earthly things and secure for us the Kingdom of heaven, where precedence is promised to the poor in spirit. (LT 4)

The reflection on how the vow of poverty can be lived radically every day should lead us to put into practice what the Founder’s words express and view it as God’s will. The legacy of the TL does not rest upon pondering over an old documents, nor upon imposing our personal interpretation of the script, nor on debating over whether the text is democratic, rather it rests upon the life and practice of poverty here and now. In my opinion, this is a very important issue which we must think over.

LT n. 6: Obedience

The greatest Doctor of the Church tells us that the sum total of all other virtues is to be found in true obedience; and Saint Bonaventure does not hesitate to state that all religious perfection consists in the suppression of one’s own will through the practice of obedience.

When I was elected Regional Superior (May 2012), my mind and heart were fixed on the TL, especially on the number above. I keep reflecting on the vow of obedience the Founder taught me, because it has always helped me offer myself to God and in this way do His will. For me, performing the service of Regional Superior is a difficult task. I must often dialogue and talk personally with my confreres about the vow of obedience. For some it is difficult to recognise and view God’s will in it, which is something I find very uncomfortable. It makes me sad and disappointed when I have to deal with the issue of new appointments or of assigning new tasks, and I meet a “difficult confrere” who refuses to accept the principle of rotation. Occasionally, I find it annoying when, for instance, a confrere complains and employs “menacing words” against his new appointment, or against a new task or duty which he is not willing to carry out.   

After we have vowed obedience to God, we are to consider ourselves as instruments in the hands of the superiors for the glory of God and the salvation of our brothers. We should be totally indifferent with regard to roles or assignments, destination to this or that mission, and equally prepared to remain at home and serve the Institute in one of its houses or leave for the mission field to which we have been assigned. We are equally willing to undertake easy tasks as well as difficult ones, to do things that we like or dislike. (LT 6)

In this case, I wonder whether my beloved confrere should not go and read again every day and reflect more deeply on TL n.6, and meditate on the narrow path of the vow of obedience so as to see God’s will in every role or assignment and then put it into practice. The same thing happens to us when we try to understand the Gospel. If we know and love the Founder’s TL, we also know well and love the Lord’s Gospel in the same way as the Founder lived it out.

Often, in the homily or sharing during the celebration of the Mass on the occasion of a first profession of young Xaverians or for the renewal of their religious vows, I like to highlight TL n. 6. As I reflect on my own experience, I come to the conclusion that obedience is the most difficult vow to practice. This is why, the young generations of Xaverians should know and love the TL in an unconditional manner from the earliest stages of their formation.

The path to holiness: TL n. 10

In concluding these reflections, allow me to sum up all that I have said above in a personal wish: that the distinguishing characteristic of the present and future members of the society be the result of the following components: a spirit of living faith which enables us to see God, seek God, love God in all things, intensifying our desire to spread his kingdom everywhere; a spirit of prompt and ready obedience in everything, no matter how costly, in order to achieve the victories promised by God to those who are obedient; a spirit of intense love for our religious family, that we must look upon as a mother, and a spirit of intense love for all the members of our Society.

My personal reflection leads me to consider this the best number of the entire Letter. In this text, the Founder provides a very clear summary of the essence of Xaverian spirituality: the motto In Omnibus Christus, prompt obedience and Family spirit. I can say with all certainty that if each Xaverian practiced TL n. 10 every day, he would be able to become a saint in the future as our Founder is now. I would like to repeat it once more: if all Xaverians concentrated faithfully on n. 10 of TL, our communities would become holier every day. If we, the Xaverians, put into practice n. 10 of Testament Letter, which constitutes the heart of our spirituality, then we will walk together the path towards holiness more easily.

Antonius Wahyudiyanto sx


La Carta Testamento está viva y me habla también hoy

La coyuntura que me impulsó a conocer más en profundidad la esencia y el sentido de la Carta Testamento (CT), fue el período después de mi primera Profesión religiosa (1988), que ha ampliado la lectura de las Constituciones Xaverianas. Después de aquel momento, el “primer amor” y la profundización de la CT crecieron en mí día tras día, llevándome a alcanzar una mejor comprensión de los aspectos principales de cada número, desde el primero hasta el último.

Aunque no la he aprendido de memoria, sin embargo, he tratado de poner lo mejor de mí para vivirla en cada etapa de mi formación según los valores que dicha Carta presenta. Cada número era atendido al momento de ser presentado por el Maestro de Novicios o por los formadores durante mi camino formativo, o los leía yo mismo durante mi estudio personal: ha sido una Carta viva y sigue hablando directamente a mi alma.

Recuerdo, por ejemplo, cuando escribí la carta de solicitud para mi primera profesión: teniendo que reflexionar sobre la vida apostólica y sobre la vida consagrada, mi pensamiento y mi alma estaban espontáneamente concentrados en el n. 2 de la CT: 

Mediante la profesión de los votos religiosos morimos a todo lo que es terreno para vivir una vida escondida con Jesucristo en Dios, haciendo realidad en nosotros aquello que el apóstol Pablo escribía a los primeros cristianos: «Estáis muertos y vuestra vida está escondida con Cristo en Dios» (Col. 3,3).

Por esta razón, ya desde mi primera profesión o en cada renovación de mis votos temporales, y en modo particular en el momento de hacer la Profesión Perpetua (1995), la CT siempre ha sido algo vivo, capaz de comunicarme muchas cosas. No podía, en efecto, escribir la carta de solicitud para la renovación de mis votos sin haber consultado primero, o haber tenido un diálogo personal con la CT. Me doy cuenta que el Fundador, con su Carta, me ha dicho muchas cosas durante todo el período de mi formación hasta el momento de recibir la gracia de la ordenación sacerdotal en 1996.

Hoy, cada vez que la leo, siento la presencia del Fundador que me acompaña, junto al Señor mismo y a San Pablo. Ellos me hablan personalmente. La CT del Fundador, en efecto, retoma muchas palabras de Jesús y de las Cartas de San Pablo. Por ejemplo, cuando tuve que afrontar algunos momentos difíciles en mi vida vocacional, el número 3 a menudo susurraba a mi oído palabras de consolación y llenas de vida. De esta manera, me sentía animado a ser leal y fiel en el tratar de ver el rostro de Dios. En la oración me repetía:

En el momento del desaliento recurramos a Dios con la oración, renovemos nuestros propósitos y redoblemos la fidelidad a los deberes contraídos, trayendo a nuestro recuerdo las palabras del Apóstol, que alejarán de nosotros cualquier incertidumbre: «Cada uno permanezca en el estado en que fue llamado» (1Cor 7,20) (CT 3).

Por ello, en los momentos de crisis, o de “desierto” en mi vida religiosa, la CT me ha hablado siempre de modo fuerte a fin de que pueda seguir recorriendo el camino recto con Cristo. Me recuerda siempre la necesidad de despojarme, vaciarme a mí mismo para poder ser habitado por la gracia del Señor.

Como Xaveriano, los números que prefiero de la CT son: el n. 4 sobre la pobreza, el n. 6 sobre la obediencia y el n.10 sobre el camino hacia la santidad.

CT 4: Pobreza

Amemos la pobreza, que es la primera renuncia que Cristo exige de aquellos que quieren ser perfectos y se proponen seguirle de cerca. Él quiere reinar solo en sus corazones, y por eso les exige el desprendimiento afectivo y efectivo de todas las cosas de la tierra. Por eso repetía con frecuencia: «El que no renuncia a todo lo que posee no puede ser mi discípulo» (Lc 14,33).

Está muy claro para mí que ser sacerdote misionero significa ser pobre como Jesús y poner en práctica un estilo de vida sencillo como el de sus discípulos. Por esta razón, después de mi primera profesión religiosa, y después de haber recibido el libro de las Constituciones Xaverianas en mis manos, me he sentido contento por el hecho de haber tenido ya la ocasión de reflexionar sobre este punto.

Aquí el Fundador me indica cómo puedo seguir al Señor en su camino, es decir: la condición es que yo viva mi voto religioso en la “forma de kenosis”, o sea en el vaciamiento de mí mismo, con la “mentalidad de la encarnación”.

Este número ha llegado a ser para mí el sendero justo hacia aquella puerta estrecha que nos lleva a imitar perfectamente a Cristo. Me enseña cómo vivir el valor de la humildad, uno de esos valores que hoy en día es extremadamente difícil llevar a la práctica.

Cuando fui enviado por primera vez, para un año de orientación misionera, a Siberut-Mentawai (1992–1993), aprendí de los mentawaianos cómo vivir una vida sencilla y ser humilde. A este respeto, el n. 4 de la CT me ha guiado en el vivir mi voto de pobreza en medio de los sacrificios de este pueblo sencillo, en las zonas más remotas de la isla. Además, durante mi año de diaconado en Siberut (1996), en el apostolado misionero en Bangladesh (1997–2008) y de nuevo en Siberut como párroco (2009–2012), escuché de nuevo la voz del Fundador que me decía con su CT:

Cada uno de nosotros, tanto en las misiones como en las casas del Instituto, confórmese con lo necesario para comer y vestir que se le proporcione y no exija nada más ni nada posea como propio. Es ésta la pobreza a la que voluntariamente nos comprometimos en la profesión, pobreza que nos hará verdaderamente libres de todo apego a la tierra y nos dará la seguridad de conseguir el Reino de los cielos, prometido preferentemente a los pobres de espíritu. (CT 4).

Reflexionar sobre el modo de vivir el voto de pobreza de modo radical, cotidianamente, significa llevar a la práctica lo expresado en la Palabra del Fundador como voluntad de Dios. La herencia de la CT no consiste en escudriñar un viejo documento, en el imponer nuestra personal interpretación del texto, tampoco en el discutir sobre si el texto es democrático o no, sino en vivir y poner en práctica el voto de pobreza aquí y ahora. Para mí éste es un punto muy fuerte sobre el que debemos reflexionar.

CT 6: Obediencia

En la verdadera obediencia, escribe el máximo Doctor de la Iglesia, está la suma de todas las virtudes. Y San Buenaventura no duda en afirmar que toda perfección religiosa consiste en la supresión de la voluntad propia, o, lo que es lo mismo, en la práctica de la obediencia.

Cuando fui elegido Superior Regional (mayo 2012), mi mente y mi corazón estaban fijos en la CT, y de modo particular en este número. Reflexiono aún sobre el voto de obediencia que me ha enseñado el Fundador porque me ha ayudado siempre a ofrecerme a Dios, haciendo de esta manera Su voluntad. Para mí, ejercer el servicio de Superior Regional, es una tarea muy difícil; sobre todo al tener que dialogar frecuentemente o hablar personalmente con mis hermanos sobre el voto de obediencia, pues, algunos tienen dificultad para reconocer y ver la voluntad de Dios en todo. Me siento muy a disgusto, triste y decepcionado cuando se enfrenta el tema de las nuevas destinaciones o nuevas tareas para un “hermano difícil”, que rechaza acoger el principio de la rotación. A veces me siento contrariado cuando, por ejemplo, un hermano se queja expresándose verbalmente con un “lenguaje amenazador” sobre la nueva destinación, o bien sobre una nueva tarea o responsabilidad que se le confía y que él no desea asumir.

Después de haber hecho voto a Dios de esta virtud, debemos considerarnos como instrumentos en manos de nuestros superiores para procurar la gloria de Dios y la salvación de los hermanos. Debemos hallarnos en una absoluta indiferencia para cualquier oficio u ocupación, para marchar a esta o aquella misión, para quedarnos en las casas del Instituto al fin de trabajar en ellas, lo mismo que para ir a trabajar en el campo evangélico que nos fuese asignado. Siempre dispuestos a realizar las cosas fáciles como las difíciles, las que nos agradan como las que nos desagradan (CT 6).

Me pregunto, en este caso, si mi querido hermano no debiera releer cada día y reflexionar más profundamente el número 6 de la CT, que trata sobre el camino estrecho del voto de obediencia y ver, de esta forma, la voluntad de Dios en cada encargo o responsabilidad para luego llevarlo a la práctica. La misma cosa nos ocurre cuando tratamos de entender el Evangelio. Si conocemos y amamos la CT del Fundador, entonces conocemos y amamos bien el Evangelio del Señor, tal como el Fundador lo vivió.

A menudo, en la homilía-reflexión en ocasión de la misa de la primera Profesión de los jóvenes Xaverianos o de la renovación de sus votos, me gusta subrayar el número 6 de la CT. Reflexionando sobre mi experiencia, considero que la obediencia es el voto más difícil de poner en práctica. Por esta razón, las jóvenes generaciones xaverianas, ya desde las primeras etapas de la formación, deben conocer y amar la CT de modo incondicional.

El camino hacia la santidad: CT 10

Y ya teniendo que despedirme de ustedes, permítanme que, resumiendo lo que les he dicho, les exprese un deseo: el deseo de que la característica que debe ser el distintivo de los miembros presentes y futuros de nuestro Instituto, sea siempre el resultado de estos factores: espíritu de fe viva que nos haga ver a Dios, buscar a Dios y amar a Dios en todas las cosas, avivando en nosotros el anhelo de propagar por todas partes su Reino; espíritu de obediencia pronta, generosa, constante en todo y a toda costa, para conseguir las victorias que Dios ha prometido al hombre obediente; espíritu de amor intenso hacia nuestra familia religiosa, a la que hemos de considerar como madre, y de caridad a toda prueba hacia los miembros que la componen.

En mi apreciación personal, considero que éste es el mejor número de toda la Carta. En este texto, el Fundador resume de modo muy claro el corazón de la espiritualidad xaveriana: el lema In Omnibus Christus, la obediencia pronta y el espíritu de Familia. Estoy seguro de poder afirmar que si cada Xaveriano pusiese en práctica diariamente el número 10 de la CT, podría llegar a ser en el futuro un santo, como lo es nuestro Fundador. Quisiera repetirlo una vez más: si todos los Xaverianos se centraran en el número 10 de la CT de manera fiel, nuestras comunidades llegarían a ser cada día más santas. Como Misioneros Xaverianos, si ponemos en práctica el número 10 de la Carta Testamento, corazón de nuestra espiritualidad, podríamos recorrer juntos más fácilmente el camino hacia la santidad.

Antonius Wahyudiyanto sx


La Lettre Testament est vivante et me parle encore aujourd’hui

L’événement qui m’a poussé à connaître plus en profondeur l’essence et la signification de la Lettre Testament (LT) a été la période après ma première profession religieuse faite en 1988, qui faisait aussi suite à la lecture des Constitutions xavériennes. A partir de ce moment, le "premier amour" et l’approfondissement de la LT ont grandi en moi jour après jour, atteignant une meilleure compréhension des aspects principaux de chaque numéro, du premier au dernier.

Bien que je ne l’aie pas apprise par cœur, j’ai néanmoins essayé de faire de mon mieux pour la vivre à chaque étape de ma formation selon les valeurs présentées par le Fondateur dans cette Lettre. Chaque numéro de la LT était présenté et répété par le Maître des Novices ou par les formateurs pendant ma formation, ou aussi lu pendant mon étude personnelle : une Lettre qui vit et qui continue à parler directement à mon âme.

Je me souviens, par exemple, quand j’ai écrit la lettre de demande pour ma première profession. Devant réfléchir sur la vie apostolique et sur la vie consacrée, ma pensée et mon âme étaient réellement concentrées sur le n. 2 de la LT : 

A travers la profession des vœux religieux nous en venons à mourir à tout ce qui est de la terre pour vivre d’une vie cachée en Dieu avec Jésus-Christ, en faisant ainsi devenir réel ce que l’Apôtre Paul écrivait aux premiers chrétiens : « Vous êtes morts et votre vie désormais est cachée avec le Christ en Dieu » (Col 3, 3).

Pour cette raison, depuis ma première profession (1988) ou à chaque renouvellement de mes vœux temporaires, et en particulier au moment de faire la profession perpétuelle (1995), la LT a toujours été quelque chose de vivant, capable de me communiquer beaucoup de choses. Je ne pouvais pas, en effet, écrire la lettre de demande pour le renouvellement de mes vœux sans avoir consulté, ou avoir eu un dialogue personnel avec la LT. Je me rends compte que le Fondateur, par sa Lettre, m’a dit beaucoup de choses tout au long de ma formation jusqu’au moment de recevoir la grâce de l’ordination sacerdotale en 1996.

Aujourd’hui, chaque fois que je la lis, je sens la présence du Fondateur qui m’accompagne, avec le Seigneur lui-même et avec saint Paul. Ils me parlent personnellement. La LT du Fondateur, en effet, reprend beaucoup de paroles de Jésus et des Lettres de saint Paul. Par exemple, quand je me suis trouvé face à des moments difficiles dans ma vie vocationnelle, le nombre 3 chuchotait souvent à mon oreille des paroles de consolation et pleines de vie. Je me sentais ainsi encouragé à être loyal et fidèle dans la recherche et l’effort de voir le visage de Dieu. Dans la prière, je me répétais :

Au moment du découragement ayons recours à Dieu par la prière, en confirmant notre détermination et en redoublant de fidélité dans l’accomplissement de nos devoirs, en nous rappelant les paroles de l’Apôtre qui devraient écarter de nous toute incertitude : « Que chacun demeure dans l’état où l’a trouvé l’appel de Dieu » (1 Co 7, 20) (LT 3)

C’est pourquoi, dans les moments de crise, ou de "désert" dans ma vie religieuse, la LT m’a toujours parlé de manière forte de sorte à pouvoir continuer sur le droit chemin avec le Christ. Il me rappelle toujours la nécessité de me dépouiller, de me vider de moi-même pour pouvoir être comblé de la grâce du Seigneur.
Comme Xavérien, les numéros que je préfère de la LT sont : le n. 4 sur la pauvreté, le n. 6 sur l’obéissance et le n.10 sur le chemin vers la sainteté. 

LT n. 4 : Pauvreté

Aimons la pauvreté qui demeure le tout premier renon­cement que le Christ exige de ceux qui veulent être par­faits et se proposent de le suivre de tout près. Il veut régner seul sur leurs cœurs et c’est pour cela qu’il requiert d’eux le détachement affectif et effectif de toutes les choses de cette terre. C’est pourquoi il ne cessait de répéter : « Celui qui ne renonce pas à tout ce qu’il possède ne peut pas être mon disciple » (Lc 14,33).

Il est très clair pour moi qu’être prêtre missionnaire signifie être pauvre comme Jésus et mettre en pratique un style de vie simple comme celui de ses disciples. Pour cette raison, après ma première profession religieuse, et après avoir reçu le livre des Constitutions Xavériennes entre mes mains, je me suis senti heureux d’avoir déjà eu l’occasion de réfléchir sur ce point.
Ici, le Fondateur m’indique comment je peux suivre le Seigneur sur son chemin, à condition que je vive mon vœu religieux en mode de « kenosis », c’est-à-dire en me dépouillant de moi-même, avec la « mentalité de l’incarnation ».

Ce numéro est devenu pour moi comme le juste sentier vers cette porte étroite qui nous conduit à imiter parfaitement le Christ. Il m’enseigne comment vivre la valeur de l’humilité, une de ces valeurs qui est devenue extrêmement difficile à mettre en pratique de nos jours.
Quand j’ai été envoyé pour la première fois, pour une année d’orientation missionnaire à Siberut-Mentawai (1992-1993), j’ai appris des Mentawaiens comment vivre une vie simple et être humble. Le nº 4 de la LT, à cet égard, m’a guidé dans la vie de mon vœu de pauvreté au milieu des sacrifices de ce peuple simple, dans les régions les plus reculées de l’île. En outre, durant mon année de diaconat à Siberut (1996), dans l’apostolat missionnaire au Bangladesh (1997-2008) et de nouveau à Siberut comme curé (2009-2012), j’entendis à nouveau la voix du Fondateur, qui avec sa LT me disait :

Donc, concernant la nourriture et l’habillement que chacun d’entre nous – en mission ou dans l’une des maisons de l’Institut – se contente de ce qui lui est nécessaire, tel qu’on le lui servira et qu’il n’exige rien de plus, qu’il ne possède rien comme son bien propre. C’est bien cette pauvreté-là dont nous avons fait profession volontaire : la pauvreté qui nous rendra tout à fait libres de toute attache de ce monde, et sûrs d’entrer en possession du Royaume des cieux promis en priorité aux pauvres en esprit. (LT 4)

Réfléchir sur la façon de vivre le vœu de pauvreté de manière radicale, quotidiennement, signifie mettre en pratique ce qui est exprimé dans la parole du Fondateur comme volonté de Dieu. L’héritage de la LT ne consiste pas à ruminer un vieux document, à imposer notre propre interprétation de l’écrit, ni même à discerner le caractère démocratique ou non du texte, mais à vivre et à mettre en pratique le vœu de pauvreté ici et maintenant. C’est pour moi un point très fort sur lequel nous devons réfléchir.

LT n. 6 : Obéissance

Dans la véritable obéissance, écrit le plus grand Docteur de l’Église, est renfermé l’ensemble de toutes les vertus. Saint Bonaventure, de son côté, n’hésite pas à affirmer que la per­fection religieuse tout entière consiste dans la suppression de sa propre volonté, à savoir, la pratique fidèle de l’obéis­sance.

Quand j’ai été élu Supérieur Régional (mai 2012), mon esprit et mon cœur étaient fixés sur la LT, et en particulier sur ce numéro. Je continue à réfléchir sur le vœu d’obéissance que j’ai reçu du Fondateur parce qu’il m’a toujours aidé à m’offrir à Dieu en faisant ainsi sa volonté. Pour moi, exercer le service de Supérieur Régional est une tâche très difficile. Devant fréquemment dialoguer ou parler personnellement avec mes confrères du vœu d’obéissance, parce que certains ont du mal à reconnaître et voir la volonté de Dieu dans tout cela, je me sens très mal à l’aise, triste et déçu quand on aborde le thème de nouvelles destinations ou de nouvelles tâches, pour un « confrère difficile » qui refuse d’accueillir le principe de la rotation. Parfois je me sens gêné quand, par exemple, un confrère se plaint en s’exprimant verbalement avec un « langage menaçant » sur la nouvelle destination, ou sur une nouvelle tâche ou responsabilité qui lui est confiée mais qu’il ne souhaite pas assumer.

Une fois que nous avons fait don à Dieu de cette vertu, il nous faut nous considérer comme étant des instruments dans les mains de nos Supérieurs pour la gloire de Dieu et le salut des frères. Il faut nous garder totalement indifférents à l’égard de toute tâche ou devoir que l’on nous confierait ; prêts à nous rendre dans tel ou tel autre lieu de mission, à être affectés dans les maisons de l’Institut pour y exercer notre activité, de même qu’à partir travailler dans le champ évangélique qui serait confié à nos soins. Il faut aussi être toujours prêts à s’acquitter des tâches fa­ciles comme de celles qui sont ardues, de celles qui nous conviennent comme de celles qui nous rebutent. (LT 6).

Je me demande, dans ce cas, si mon cher confrère ne doit pas relire chaque jour et réfléchir plus profondément sur la LT n. 6, sur le chemin étroit du vœu d’obéissance et ainsi voir la volonté de Dieu dans chaque tâche ou responsabilité pour ensuite la mettre en pratique. La même chose nous arrive quand nous cherchons à comprendre l’Évangile. Si nous connaissons et aimons la LT du Fondateur, alors nous connaissons et aimons bien l’Evangile du Seigneur, comme l’a vécu le Fondateur.

Souvent, dans l’homélie-réflexion à l’occasion de la célébration de la Messe pour la première Profession des jeunes Xavériens ou pour le renouvellement de leurs vœux, j’ai du plaisir à souligner la LT n. 6. En réfléchissant sur mon expérience, je considère l’obéissance comme le vœu le plus difficile à mettre en pratique. C’est pourquoi les jeunes générations des Xavériens, dès les premières étapes de la formation, doivent connaître et aimer la LT de manière inconditionnelle.

Le chemin vers la sainteté : LT n. 10

Et, étant donné qu’il me faut, contre mon gré, prendre congé de vous, permettez-moi qu’en résumant tout ce que je viens de vous dire, j’exprime un vœu. Le vœu que le trait caractéristique qui devra distin­guer les membres présents et à venir de notre Société, soit toujours la résultante des coefficients suivants : un esprit de foi vive qui nous entraîne à voir Dieu, à chercher Dieu, à aimer Dieu en toute chose, ravivant sans cesse en nous le désir de diffuser partout son Règne ; un esprit d’obéissance empressée, généreuse, sans faille en toute circonstance et à tout prix pour emporter les victoires assurées par Dieu à ce­lui qui sait obéir ; un esprit d’amour intense envers notre fa­mille religieuse qu’il nous faut regarder comme notre mère et un esprit de charité à toute épreuve envers les membres qui la composent.

Dans ma réflexion personnelle, je crois que c’est le plus beau numéro de toute la Lettre. Dans ce texte, le Fondateur résume très clairement le cœur de la spiritualité xavérienne : la devise In Omnibus Christus, l’obéissance prête et l’esprit de famille. Je suis certain de pouvoir affirmer que si chaque Xavérien mettait en pratique quotidiennement le n. 10 de la LT, il pourrait devenir dans le futur un saint, comme l’est notre Fondateur. Je voudrais le répéter encore une fois : si tous les Xavériens se concentraient fidèlement sur le n. 10 de la LT, nos communautés deviendraient chaque jour plus saintes. En tant que Missionnaires Xavériens, si nous mettons en pratique le nº 10 de la Lettre Testament qui constitue le cœur de notre spiritualité, nous pourrons parcourir ensemble plus facilement le chemin vers la sainteté.

Antonius Wahyudiyanto sx

Antonius Wahyudiyanto sx
26 Mai 2021
1506 Vues
Disponible en
Mots clés

Liens et
Téléchargements

Zone réservée à la famille Xaverienne.
Accédez ici avec votre nom d'utilisateur et votre mot de passe pour afficher et télécharger les documents réservés.